Potensi Zakat Dalam Ekonomi

Posted: April 12, 2012 in Riset Ilmiah

Sesuai dengan prinsip Syariah Islam yang tidak mempersulit keadaan dan pro terhadap keadilan sosial, maka konsep zakat, terlebih dahulu memang harus dipahami sebagai satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka tercapainya pemerataan keadilan (distribution of justice) seperti yang diungkapkan al-Quran, Surah Al Hasyr ayat 7, yakni agar harta tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Jadi perputaran cashflow lebih luas dan setiap pihak mempunyai kesempatan untuk ikut andil dalam aktifitas ekonomi.

Dalam praktek ekonomi, salah satu faktor penggerak produksi dan konsumsi kini adalah modal. Modal dapat berasal dari pendapatan akan suatu aktifitas ekonomi, yang tentunya memiliki tingkat kuantitas dan return yang berbeda. Perbedaan proporsi pendapatan inilah yang menjadi masalah dalam penentuan tingkat harga dan indikator inflasi, penghitungan asumsi biasanya didapat berdasarkan perhitungan umum seperti JUB (Jumlah Uang Beredar) yang menjadi faktor pengaruh inflasi, padahal hal tersebut lebih disebabkan oleh distribusi pendapatan yang tidak merata.

Disinilah peran zakat dalam hal distribusi pendapatan agar perhitungan harga tepat sasaran dan adil bagi semua pihak. Lawannya disini adalah riba. Hubungan zakat dan riba adalah negatif, yaitu: Zakat = RIba. Zakat menciptakan distribusi kekayaan sedangkan riba menciptakan konsentrasi kekayaan. Dalam kurva zakat justru dikatakan sebagai faktor pendukung pendapatan. Dengan demikian dana zakat, juga infaq & sadaqah, dapat menjadi suplemen pendapatan permanen bagi orang-orang yang benar-benar tidak dapat menghidupi dirinya lewat usahanya sendiri karena ia seorang yang menderita cacat seumur hidup atau telah uzur. Sedangkan bagi yang lain, dana tersebut harus digunakan sebagai bantuan keringanan temporer disamping sumber-sumber daya esensial untuk memperoleh pelatihan, peralatan, dan materi sehingga memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan yang mencukupi.

Dalam konteks makro dilihat dari sisi mustahiq hubungan zakat terhadap konsumsi berbanding positif. Orang miskin yang menerima zakat, konsumsinya akan semakin meningkat. Karena setelah ia menerima zakat, pendapatannya bertambah sehingga ia dapat memenuhi kebutuhan ekonominya. Peningkatan konsumsi ini secara agregat akan mendorong peningkatan kinerja perekonomian. Peningkatan kurva agregat demand melalui bertambahnya daya beli masyarakat (mustahiq) yang mendapatkan zakat, tentu saja akan berpengaruh pada kenaikan harga barang. Kenaikan harga ini berimplikasi pada terbukanya market yang lebih luas agar penjual baru dapat masuk ke dalam pasar sehingga penawaran akan meningkat. Siklus tersebut secara natural akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Islam sangat menjunjung tinggi hak individu atas kepemilikan terhadap sesuatu. Namun karena kepemilikan tersebut tidak dapat dilakukan oleh semua individu, maka diperlukan sistem yang menjamin terjadinya distribusi atau redistribusi dalam perekonomian. Pendekatan makro ekonomi dalam implikasi zakat dalam mendorong pemerataan distribusi pendapatan ini dapat dicerminkan dalam fungsi distribusi pendapatan dan konsumsi dari pendapatan rumah tangga seorang muslim.

Dari kurva di atas, dapat kita ketahui bahwa pola pengeluaran ideal seorang muslim adalah kombinasi antara kebutuhan konsumsi, zakat dan infak/shadaqah. Kombinasi pengeluaran seorang muslim ini setidaknya dapat mendorong distribusi pendapatan kepada mereka yang fungsi pengeluarannya hanya merupakan variable konsumsi saja. Dengan distribusi zakat, infak dan shadaqah yang baik, akan berpengaruh positif terhadap fungsi pengeluaran fuqoro’ masakin tanpa melalui pertukaran barang/jasa. Secara teoritis, standar kemaslahatan seorang muslim dari kepemilikan pendapatan (mencapai nisab) difungsikan sebagai berikut; Y = C + ZAKAT .

 Pengelolaan Zakat di Indonesia

Dari sisi regulasi sebenarnya Indonesia sudah cukup baik, dengan adanya UU No. 38 tahun 1999 yang mengatur tentang pengelolaan zakat di Indonesia, walaupun minus tentang penjelasan detail terkait mustahiq yang menjadi objek zakat, namun yang lebih penting dari itu adalah belum adanya sumbangsih zakat pada keuangan negara dan alur prosesnya sebgai modal dalam mengentaskan kemiskinan, regulasi ini hanya berhenti bagaimana menyalurkan zakat dengan baik kepada para mustahiq, tanpa melihat apakah fungsi ini konsumtif atau produktif, adakah potensi zakat sebagai sumber pendanaan negara, sehingga dampak ekonomi yang diharapkan belum bisa sepenuhnya terealisasi dengan baik.

Selain itu, Indonesia sejak dulu sudah memiliki banyak lembaga swasta yang lebih dulu mengelola zakat, yang tergabung dalam Forum Zakat yang merupakan Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat seluruh Indonesia yang beranggotakan Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat, ia sudah banyak menyerap tenaga kerja amil. Pemerintah tentunya tetap harus menghargai apa yang telah mereka lakukan.

Dalam rekomendasi amandemen UU zakat, Forum Zakat menyarankan agar pemerintah lebih memperhatikan aspek standarisasi pengelolan zakat khususnya dari sisi akuntansi dan pengawasan, ketimbang merombak ulang sistem mapan yang sudah diterapkan. Hal itu tentu senada dengan konsep pengaturan lembaga keuangan syari’ah seperti perbankan syari’ah, perbedaannnya disini adalah bila perbankan syari’ah berorientasi profit maka lembaga zakat memang terkhusus sebagai lembaga pengelolaan keuangan yang berorientasi sosial.

C. Fungsi Zakat Dalam Mengentaskan Kemiskinan

Dalam wacana konvensional, akar masalah ekonomi adalah kelangkaan. Kelangkaan yang terjadi ketika ada sebuah kebutuhan, baik itu kebutuhan produksi maupun kebutuhan konsumsi. Berdasarkan teori mikro ekonomi 2 faktor diatas memiliki 2 sifat dan prinsip yang saling bertolak belakang, makanya hingga kini mayoritas ekonom di dunia percaya bahwa sistem ekonomi pasar adalah jawaban yang tepat dalam menjawab permasalahan diatas, karena ia akan mempertemukan kedua perbedaan tersebut dalam suatu titik yang disebut keseimbangan (equilibrium).

Namun perkembangan ilmu ekonomi membuat teori itu sedikit mengalami modifikasi, yaitu adanya intervensi pemerintah. Hal ini terjadi karena konsep pasar bebas menyisakan penyakit kronis yang datang secara bergantian yaitu inflasi disektor keuangan dan pengangguran disektor riil. Dan disinilah peran pemerintah sebagai ”dokter yang setia” menemani sistem ekonomi yang peyakitan seperti ini agar terus hidup dan berkembang,walaupun akan terus memilki efek samping yang hingga sekarang nyatanya belum akan berakhir yaitu kemiskinan.

Dalam ajaran islam yang berdasarkan al-Qur’an dan hadist, mempunyai tujuan yang rahmatan lil-’alamin artinya kemaslahatan untuk semua orang. Makanya disini islam memperhatikan satu faktor ekonomi yang hampir dilupakan ekonom-ekonom dunia yaitu faktor distribusi. Inilah yang ingin disampaikan al-Quran lewat perintah kewajiban dalam menunaikan zakat, zakat sebagai alat distribusi kesejahteraan, karena yang sejahteralah yang berkewajiban menunaikan zakat. Itupun dengan adanya persyaratan haul dan hitung-hitungan tertentu yang tidak memberatkan bagi muzakki dan sesuai dengan proporsi kebutuhan mustahiq.

Contoh pada Penerimaan zakat penghasilan dihitung secara proporsional, yaitu dalam persentase dan bukan ditentukan nilai nominalnya. Secara ekonomi makro, hal ini akan menciptakan built in stability. Ia akan menstabilkan harga dan menekan inflasi ketika permintaan agregat lebih besar dari penawaran agregat. Dalam keadaan stagnasi, misalnya permintaan agregat turun menjadi lebih kecil dari penawaran agregat, ia akan mendorong kearah stabilitas pendapatan dan total produksi. Sistem zakat perniagaan tidak akan mempengaruhi harga dan jumlah penawaran karena zakat dihitung dari hasil usaha. Ini berbeda dengan sistem pajak pertambahan nilai (PPN) yang populer sekarang, PPN dihitung atas harga barang sehingga harga bertambah mahal dan jumlah yang ditawarkan lebih sedikit.

Khusus untuk zakat ternak, Islam menerapkan sistem yang progressif untuk memberikan insentif meningkatkan produksi. Makin banyak ternak yang diproduksi makin kecil rate zakat yang harus dibayar. Ia akan mendorong tercapainya skala produksi yang lebih besar dan terciptanya efisiensi biaya progressif. Sistem progressif ini hanya berlaku untuk zakat ternak karena bila terjadi kelebihan pasokan, ternak tidak akan busuk seperti sayur dan buah-buahan. Harga tidak akan jatuh karena kelebihan pasokan.

Inilah keindahan konsep kesejahteraan ala islam yang diajarkan lewat, al-Qur’an, disatu sisi ia memperhatikan kesejahteraan muzakki namun disisi lain ia juga memperhatikan kebutuhan mustahiq, inilah equilibrium kesejahteraan dalam islam, yaitu disaat kebutuhan mustahiq bertemu dengan kemampuan muzakki dalam titik yang disebut zakat. Seperti yang dipaparkan dalam pembahasan diatas kemiskinan itu diciptakan karena adanya kekeliuran dalam strategi pembangunan, maka tidak salah bila ada wacana positif yang menyatakan bahwa kesejahteraan itu juga dapat dicitkan melalui strategi yang tepat untuk diterapkan.

Ada banyak factor yang menyebabkan kemiskinan, mayoritas diantaranya karena factor ketidakberuntungan dan kurangnya pendidikan. Maka fungsi zakat disini dapat dilakukan dengan 2 tujuan, tujuan konsumtif untuk mereka yang sudah tidak mampu bekerja dan tujuan produktif untuk mereka yang masih mampu bekerja, karena sesungguhnya Allah SWT sangat menghargai hambaNya yang bekerja, dan melaknat hambaNya yang suka meminta-minta.

Selain itu dengan adanya lembaga zakat pemerintah dan swasta, maka hendaknya system pengelolaan zakat di Indonesia memiliki standar operasional yang jelas baik dari sisi penarikan dana dari muzakki hingga penyaluran kepada mustahiq, selain itu kemudahan akses informasi yang mudah dari pemerintah sangat diharapakan agar dana zakat benar-benar tersalurkan kepada yang membutuhkannya. Seperti halnya dalam system perbankan syariah, pengawasan terhadap aspek kesyariahannya harus terus diperhatikan namun dnegan orintasi yang bersifat social. Dengan harapan kedepannya indoensia bias keluar dari jurang kemiskinan.

Tinggalkan komentar