Ketika Media Menjadi Alat Politik…

Posted: Mei 26, 2013 in Pesan Sosial, Riset Ilmiah
Tag:, , , , , , , , , , ,

Jujur sebenarnya daku benci menuliskan tulisan ini, karena kata-kata dan bait2 yang terangkai selanjutnya akan lebih banyak yang berbau politik, walaupun tanpa intrik namun semoga bisa menjadi bahan diskusi yang menarik. Politik sebanarnya adalah satu bidang kaijian yang sangat aku benci, alasannya simpel ilmu ini basi. Buktinya liat saja kajian ilmu ini tetap melahirkan banyak diskusi yang sangat sedikit berujung pada aksi. Really wasting time. Apalagi para politikus yang selalu berbicara dengan “poker face” nya, diselingi dalil idealisme dan patriotisme yang kadang kita semua tahu itu Cuma alat baginya untuk menguatkan cita rasa dalam ramuan argumentasinya. Sungguh fenomena yang sangat basi. Apalagi terkadang keputusan politis sangat mempengaruhi keputusan dalam beberapa bidang lainnya. Sebut saja, Ekonomi, pendidikan, sosial, teknologi, Media, kesehatan yang kesemuanya kajian ilmunya membutuhkan orang-orang yang memilki skill dan kedewasaan akademik tinggi malah harus mengalah oleh para sebagian  politikus yang hanya bermodal materi dan ijazah yang di beli. Miriis….

Nah salah satu bidang yang cukup terpengaruh dengan politik akhir-akhir ini adalah media. Inilah yang kembali mengetuk sense of academic crisis dalam diri ini setelah cukup lama berkutat dalam romantika cinta dan kerinduan. Dengan semakin dekatnya pemilu akhir-akhir ini media yang idealnya harus netral malah kian banyak ditunggangi oleh beberapa partai  yang mulai secara terang-terangan melancarkan serangan kepada lawan politiknya, alasannya apalagi kalu bukan menjatuhkan kredibilitas lawan politik dimata masyarakat. Sejak zaman zainuddin MZ dulu menjadikannya sebagai judul ceramah pagi, Isu tentang harta, tahta dan wanita emang ga pernah surut dalam ranah politik negri ini. Tahu ga kawan, dalam media itu ada yang namanya analisis framing. Yaitu sebuah teori untuk membentuk frame berpikir masyarakat…, aku memabacanya saat pameran buku dulu dijawa timur. Dan ku kira ilmu itu hanya sensasi, namun ternyata kini, aku sedang melihatnya dengan mata kepalaku sendirii…

Berawal dari bencana merapi 2010 dimana tidak sengaja menjadi relawan sekaligus pengungsi disana. Aku menyaksikan langsung bagaimana cara media menjual “air mata”, menayangkan video yang sama berulang-ulang, membuat script dengan tema “telenovela” lalu baru mencari nara sumbernya, semua media seakan berlomba untuk membuat reportase yang “as sad as possible” biar makin laku dipasaran. Memag, aku setuju kalo ada yang bilang bahwa semua orang, semua profesi  bekerja mencari rejeki, tapi tidak dengan mengabaikan nuranikan…, benar, gara-gara media banyak bantuan yang datang. Tapi ku kira itu hanyalah alasan klise dibalik alasan utama, yaitu menaikkkan rating channel dimata para pemirsa. Mungkin aku terlalu idealis untuk mengatakan media itu harus netral. Menyampaikan fakta apa adanya. Tapi sebagai masyarakat awam yaa, yang kita butuhkan adalah informasi yang benar dan tidak simpang siur. Liatlah kepanikan warga ketika media memaksakan sebuah cerita “heroic” yang di buat dengan alasan “menjadi media yang pertama dan terdepan”.

Nah inilah salah satu contoh bagaimana media membentuk frame berpikir masyarakat. Dalam kajian politik hal ini tentu lebih ribet dan detail. Dalam acara talkshow misalnya biasanya selalu ada nara sumber dan pembawa acara. Di sebagian media swasta biasanya mereka sudah menetapkan opini apa yang kelak akan didapatkan pemirsa setelah acaranya selesai. Nah bila sang nara sumber mendukung opini mereka, muka nara sumber di zoom, looks like he was the only one in the room, kadang ditambahi gambar-gambar faktual walaupun tidak aktual dan ketika ada nara sumber lain kontra, mereka mulai mengajukan pertanyaan yang bersifat (Y/N=yes, no) yang menjebak, intinya bagaimana opini pertama tetap naik daun. lalu bila argumentasi logis mereka sudah mulai melemah, dengan seenaknya mereka bisa memotong itu semua dengan alasan iklan atau jeda pariwara. Smart bukan. Opini yang tertinggal itulah yang akan masuk kedalam otak bawah sadar masyarakat kita yang mayoritas adalah lulusan SD.  Mungkin masih banyak intrik psikologi pemirsa lainnya, Belum lagi video-video yang di dramatisir yang dibuat pra talkshow atau berita, yang menurutku sangat jelas tujuannya, dilihat dan dicerna masyarakat yang mudah tergoda sama sesuatu yang dramatis dan tentunya tanpa sistem penyaringan yang logis. Mencari nara sumber yang hanya mendukung isu politik mereka, mencari potongan-potongan video yang hanya sesuai opini mereka. Sangat Miris mengetahui Kebenaranan itu bisa direkayasa, hmm.. bingung, dimana lagi kita bisa mencari kebenaran dinegri ini.

Jujur aku merindukan kompetisi politik dinegri ini mirip dengan kompetisi menyanyi. The voice indonesia atau X Factor salah satunya. Dimana setiap peserta bisa saling support, bersaing penuh kedewasaan, mengandalkan skill bukan janji. Dan saat mereka berpisah ada tangis yang mengharukan, karena kompetisi ini sudah melahirkan sebuah keluarga baru bagi mereka.  Aku kira anak-anak muda itu jauh lebih dewasa dari pada elite politik tua yang duduk di kursi megah sana. Mungkin itulah sebagian alasan dari banyak anak-anak muda indonesia yang berbekat malas pulang ke indonesia. Malas melayani bapak-bapak ibu-bu elite politik yang tidak pernah dewasa. Maka dari itu mengapa kalian tidak bersaing dengan sehat, bukankah kalian semua punya tujuan yang sama yaitu membangun negri ini. dan tentunya para elite politik yang cerdas bisa berpikir bahwa tujuan itu bisa tercapai tanpa harus menjabat eksekutif, legislatif ataupun yudikatif, yang penting kita harus kreatif bin inovaif untuk bisa memberi kontribusi dengan jalannya masing-masing. Pengusaha, karyawan, penulis, musikus, politikus, kita bisa kok berjalan bergandengan membangun negri ini.

Mungkin ada sebagaian yang pernah mendengar beberapa idiom-idiom politik seperti ini. “Politik adalah ilmu untuk mendapatkan kekuasaan” , “ Dalam politik tidak ada kawan atau lawan yang ada hanya kepentingan”. Anak hukum, atau sospol pasti udah ga asing lagi. Mungkin sebagian juga udah jadi prinsip hidup sehari-hari. Tapi aku bingung, apakah nurani kalian setuju dengan istilah seperti ini? bisa ga sih kita ubah menjadi  “Politik adalah ilmu untuk mencari pemimpin sejati”,” Dalam poliik kita semua teman, karena kita sedarah dan seperjuangan” aku rasa istilah ini lebih adem dihati ketimbang yang pertama tadi. Dalam hidup siapa sih yang ga berpolitik? Kita semua berpolitik, setiap saat malah. Tapi lihatlah kita bisa menjadi teman, tertawa lepas dengan ikhlas. Tanpa harus menyimpan udang dalam tempayan. Busuk ntar brader hehe.

Konklusinya…, kita semua masyarakat tentu merindukan media yang netral. Tak perlulah seperti power ranger dg slogannya “membela kebenaran dan memberantas kejahatan”. Cukuplah jadi media yang bisa ”menyampaikan kebenaran dan menghilangkan keraguan”. Cukuplah sudah kau ditunggangi kepentingan politik walaupun kami tahu dirimu dimiliki oleh salah satu elite politik. Bangkitkan jiwa jurnalismemu. Katakan apa adanya, inginkah kalian melihat masyarakat kita memakan racun informasi yang di suarakan oleh sebagian kecil politisi? Seperti lagunya project pop…, Negri Impian. Negri itu tak akan pernah terwujud tanpa sumbangsih kebenaran dari kalian. Salam Perdamaian….

For All Media

Tinggalkan komentar