Adakah Arogansi Ilmiah Pada Diri Kita?

Posted: Mei 14, 2013 in Pesan Sosial
Tag:, , , , , ,

Alangkah indahnya kalau setiap diri kita, bisa belajar dari alam, meresapi filosofinya, mengambil maknanya, berendah hati, serta mensyukuri nikmatNYA yang tanpa batas. Ilmu kita yang terbatas, keangkuhan diri yang membelenggu, hati yang kaku, dan keengganan untuk berendah hati, menjadikan kita memiliki arogansi ilmiah.

Merasa paling tahu dari yang lain, atau meremehkan orang lain. Ketika sebuah gelar akademis, sarjana, master, doktor, profesor etc, berbaris rapi di depan atau dibelakang nama kita. Padahal ilmu kita belum seberapa bila dibandingkan dengan ilmuNYA Sang Maha Mengetahui. Ibarat satu tetes air di samudra yang luas, itulah ilmu yang kita miliki. Allah telah mengaruniakan satu mulut, dua mata, dan dua telinga. Mulut untuk berbicara, mata untuk melihat, mengamati, dan telinga untuk mendengar. Manfaatnya adalah untuk lebih banyak melihat dan mendengar, daripada ’berbicara.’

Gelar sarjana, master, doctor, dan professor, adalah sebuah gelar akademis. Pembuktiannya adalah seberapa banyak ilmu yang menjadi salah satu amanahnya, yang telah dimudahkan oleh NYA untuk menguasainya, bisa memberikan manfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat pada umumnya. Bagi dirinya sendiri, ia menjadi semakin tawadhu’ (rendah hati), bagi masyarakat pun ia mengajarkan dengan santun tanpa ada tendensi kesombongan. Berkarya, berkarya, dan berkarya. Memberikan solusi bagi permasalahan di masyarakat.

Sungguh disayangkan bila gelar akademis itu diperoleh dengan cara membeli. Tidak hanya dirinya yang kasihan, tapi orang-orang yang ada disekitarnya pun kasihan. Tidakkah kita belajar dari ilmu padi??? Semakin berisi padi itu, maka ia semakin merunduk. Rendah hati. Kecuali padi yang kosong/ istilah jawanya gabuk, maka ia akan tetap mendongak keatas, menunjukkan arogansi ilmiahnya.

Tidakkah kita belajar dari pohon-pohon yang mengeluarkan buahnya yang berasa manis??? Ia tumbuh dari sebutir biji. Menjadi pohon, maka ia bisa dijadikan tiang atau tempat bersandar. Berdaun lebat, maka ia memberi keteduhan. Berbunga, maka ia memberikan keindahan. Berbuah, maka ia memberikan kenikmatan dan rasa kenyang. Kemudian, bijinyapun bisa ditanam kembali untuk melalui proses yang sama. Memberikan kemanfaatan. Apakah diri kita sudah seperti itu???

Disetiap fase pertumbuhan kita. Disetiap fase menuntut ilmu. Disetiap tingkatan ilmu yang kita peroleh sudah memberikan kemanfaatan??? Atau justru yang ada hanya sebuah kesombongan???

Tidakkah kita belajar dari kisahnya Nabi Musa as dengan Nabi Khidr as?? Nabi Musa as, ingin berguru pada Nabi Khidr as, tapi dikarenakan ketidaksabarannya, ketidaktahuannya, ia selalu bertanya..dan bertanya atas apa yang dilakukan oleh Nabi Khidr. Padahal diawal perjalanan mereka sudah diberi warning untuk tidak banyak bertanya. Tapi apalah daya, Nabi Musa selalu ingin tahu, sehingga ia selalu bertanya. Pada akhirnya, ia hanya sebentar menjadi muridnya/ belajar dari Nabi Khidr. Untuk kisah selengkapnya bisa dilihat di Al-Qur’an Surat Al-Kahfi : 65 – 82.

Berendah hati, dan bersabar dalam menuntut ilmu. Itulah yang bisa dipetik dari kisah ini. Kisah ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang sedang menuntut ilmu, tapi alangkah indahnya bila yang sudah berilmupun mengambil manfaatnya. Bukankah diatas langit masih ada langit? Bukankah ilmu yang kita miliki adalah sebagian kecil ilmuNYA yang dititipkan kepada kita?? Agar kita semakin tunduk kepadaNYA…

Marilah kita merenung sejenak, disela-sela kita menuntut ilmu, disela -sela kita berbagi ilmu, membagi ilmu, dan mengamalkan ilmu. Adakah arogansi ilmiah Pada Diri Kita???

Jiwa ini haus akan ilmu

Diri ini ingin membagi ilmu

Tapi daya itu semakin melemah ketika asa goyah

Bukan karena berhenti atau terhenti

Tapi…

Sejumput rasa kesombongan membelenggu hati

Ya Malik, langit dan bumi adalah milikMU

Ya Muhaimin, lindungi kami dari rasa itu

Karena hanya Engkau yang berhak memiliki rasa itu

Karena segala sesuatu adalah milikMU

Tinggalkan komentar